Hiruk-pikuk kota tak pernah benar-benar tidur. Jalanan yang sesak, suara kendaraan yang bising, serta hiruk suara klakson menjadi latar sehari-hari yang sulit dielakkan. Di tengah gegap gempita kehidupan urban, keheningan menjadi barang langka. Padahal, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, lebih dari 56% penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan, dan angka ini terus bertambah. Pertumbuhan kota yang masif sering kali menekan eksistensi Ruang Terbuka Hijau (RTH) — padahal justru di sanalah ketenangan bisa ditemukan.
Menurut laporan Kementerian PUPR (2024), banyak kota besar di Indonesia belum memenuhi target ideal minimal 30% RTH dari luas wilayah kota, sesuai amanat UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Sumber: dlhi.co.id). Ironisnya, yang luput disadari adalah: keberadaan RTH bukan hanya soal estetika atau oksigen tambahan, melainkan kebutuhan psikis, sosial, dan ekologis yang krusial di tengah kehidupan modern yang serba cepat.
Ruang Terbuka Hijau: Lebih dari Sekadar Taman Kota

Istilah Ruang Terbuka Hijau bukan hanya mengacu pada taman yang asri atau jalur pedestrian dengan pepohonan rindang. RTH mencakup semua ruang terbuka di wilayah perkotaan yang secara alami atau buatan ditumbuhi vegetasi, termasuk hutan kota, jalur hijau, sempadan sungai, hingga taman lingkungan.
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 Tahun 2008, RTH dibagi menjadi dua jenis: RTH publik dan RTH privat. RTH publik dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah, sedangkan RTH privat dimiliki perorangan atau badan hukum namun tetap berfungsi ekologis. Pemahaman ini penting untuk merancang kebijakan yang tidak hanya berorientasi pada pengembangan lahan, tetapi juga partisipasi masyarakat dalam menjaga keseimbangan ekologis.
Kementerian PUPR menyebut RTH sebagai “paru-paru kota” yang membantu menurunkan suhu, meredam polusi suara dan udara, serta menjadi tempat penyerap air hujan alami. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2023 menyebutkan bahwa ketersediaan RTH berkontribusi dalam penurunan suhu hingga 2°C di wilayah padat penduduk, serta meningkatkan kelembaban yang dibutuhkan bagi ekosistem mikro perkotaan.
Selain aspek fisik, RTH juga menyediakan ruang keheningan: sebuah kebutuhan psikologis yang kerap terpinggirkan dalam perencanaan kota. Studi oleh WHO (2022) menyebut bahwa individu yang rutin mengunjungi RTH memiliki risiko depresi 31% lebih rendah.
Mengapa Keheningan di Tengah Kota Kini Menjadi Mewah?
Keheningan bukan berarti ketiadaan suara, melainkan ruang yang memberi Anda jeda dari kebisingan yang tidak perlu. Ruang Terbuka Hijau menawarkan oase di mana suara burung, desir angin, dan gemericik air menggantikan dentuman klakson atau deru mesin.
Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup (2023), tingkat kebisingan di Jakarta mencapai rata-rata 70 dB pada jam sibuk, melampaui batas normal WHO. Kebisingan kronis ini tidak hanya mengganggu konsentrasi, tapi juga berkaitan erat dengan gangguan pendengaran, gangguan tidur, hingga penyakit jantung.
Kota-kota seperti Seoul, Tokyo, dan Singapura sudah sejak lama menjadikan “taman keheningan” atau silent parks sebagai bagian dari tata ruang. Indonesia belum banyak meniru langkah ini. Jika ruang untuk tenang tak disediakan, maka kualitas hidup akan semakin tergerus.
Ruang Terbuka Hijau sebagai Antitesis Urban Stress
Urban stress bukan lagi mitos. Polusi, keterbatasan ruang, dan tekanan kerja menjadi penyebab utama burn-out di perkotaan. RTH menawarkan terapi diam-diam yang memperbaiki kondisi ini. Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Environmental Health Perspectives, disebutkan bahwa berjalan kaki selama 20 menit di ruang hijau dapat menurunkan kortisol (hormon stres) secara signifikan.
Akses terhadap RTH yang merata menjadi penting. Sayangnya, penelitian dari ITB (2022) menunjukkan bahwa distribusi RTH di kota-kota besar masih timpang. Warga di pusat kota lebih mudah mengakses taman, sementara di pinggiran hanya tersedia ruang hijau minim yang bahkan kurang terpelihara.
Kondisi ini memperparah ketimpangan sosial-ekologis. Padahal, semua lapisan masyarakat memiliki hak yang sama untuk mendapat akses ke ruang publik yang sehat.
Fakta dan Tantangan Pengembangan RTH di Indonesia
Meski urgensinya jelas, banyak kota besar masih tertinggal dalam pengembangan RTH. Tempo (2021) menyoroti bahwa beberapa kota seperti Medan hanya memiliki 10% RTH dari luas wilayah, jauh dari batas minimal 30%. Kendala yang dihadapi pun beragam — mulai dari keterbatasan lahan, alih fungsi ruang, hingga kebijakan tata ruang yang tidak konsisten.
Kota dengan visi lingkungan seperti Surabaya dan Bandung telah mulai menerapkan pendekatan kolaboratif. Di Bandung, program “Taman Tematik” yang berjumlah lebih dari 30 lokasi menunjukkan bahwa dengan kreativitas dan keterlibatan warga, ruang hijau dapat tumbuh tanpa harus mengorbankan lahan besar.
Namun, banyak kota lain belum memiliki regulasi kuat untuk melindungi lahan terbuka dari ekspansi komersial. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sering kali diabaikan atau diubah demi kepentingan investasi. Pengawasan dari masyarakat sipil serta transparansi data menjadi elemen penting untuk mengawal keberlanjutan RTH.
Mengembalikan Fungsi Sosial dan Budaya dari RTH
Selain fungsi ekologis, Ruang Terbuka Hijau juga punya nilai sosial yang penting. Di masa lalu, taman atau lapangan sering menjadi pusat interaksi antarwarga, tempat pertunjukan seni rakyat, atau arena bermain anak-anak. Kini, ruang-ruang seperti itu makin langka dan tergerus oleh pusat perbelanjaan atau area parkir.
Penelitian oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2023 menunjukkan bahwa interaksi sosial di ruang terbuka memperkuat rasa kepemilikan dan partisipasi warga terhadap lingkungan sekitar. RTH yang dirancang dengan pendekatan sosial—dengan tempat duduk yang nyaman, aksesibilitas yang inklusif, dan ruang aktivitas bersama—akan menghidupkan kembali peran taman sebagai simpul kebersamaan warga kota.
Konsep community park yang diterapkan di beberapa negara Eropa bisa diadopsi secara lokal, di mana ruang hijau berfungsi sebagai forum budaya, ruang bermain, hingga ruang refleksi spiritual.
Solusi: Merancang Kota yang Memberi Napas
Lantas bagaimana membangun kota yang menyediakan ruang keheningan dan kedamaian bagi warganya?
Pertama, dibutuhkan komitmen pemerintah daerah untuk tidak menjadikan ruang hijau sebagai cadangan pembangunan, melainkan sebagai kebutuhan utama. Kedua, peran serta warga sangat dibutuhkan untuk menjaga, memanfaatkan, dan memberi masukan dalam pengelolaan RTH. Ketiga, kolaborasi lintas sektor — termasuk swasta dan komunitas — dapat mendorong terciptanya taman kota multifungsi yang tidak hanya hijau, tapi juga hidup.
Desain RTH juga perlu diperbarui agar selaras dengan kebutuhan zaman. Misalnya, penggabungan antara taman dengan elemen urban farming, perpustakaan terbuka, atau bahkan ruang kerja luar ruangan (outdoor co-working space).
Lebih jauh, diperlukan insentif bagi pengembang yang menyediakan RTH privat, serta pembebasan pajak untuk lahan hijau produktif yang dikelola oleh masyarakat.
Ruang Terbuka Hijau Adalah Hak Anda
Ruang Terbuka Hijau bukan kemewahan. Ia adalah hak publik. Di tengah kota yang bising dan penuh tekanan, keberadaan RTH menjadi batas antara kesehatan dan kelelahan, antara kehidupan dan sekadar bertahan.
Kini, saat Anda merindukan sejenak keheningan, mungkin jawabannya bukan liburan jauh-jauh. Mungkin, jawabannya adalah ruang hijau di tengah kota — jika saja kota Anda memberinya tempat yang layak.