Manusia modern kini menjalani kehidupan dalam dua dimensi: realitas fisik dan dunia virtual. Berdasarkan laporan Digital 2025 dari We Are Social, rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan lebih dari 8 jam per hari di internet. Angka tersebut menandakan pergeseran besar dalam cara manusia berinteraksi, bekerja, dan memahami lingkungan sekitarnya. Di balik kemajuan teknologi ini, muncul pertanyaan penting: apakah keterlibatan yang begitu dalam di dunia maya menjauhkan manusia dari kesadaran ekologis terhadap bumi yang nyata?
Keterhubungan digital membawa banyak kemudahan. Namun, di saat yang sama, jarak emosional antara manusia dan alam semakin lebar. Alam kini lebih sering hadir dalam bentuk foto, video, atau simulasi daripada dalam bentuk pengalaman langsung. Lembaga seperti Dinas Lingkungan Hidup berperan penting dalam mengingatkan publik bahwa bumi fisik tetap membutuhkan perhatian dan perlindungan, bukan hanya eksistensi di ruang digital.
Ilusi Keterhubungan dan Hilangnya Sensitivitas Alam
Manusia abad digital hidup dalam ilusi keterhubungan. Media sosial menciptakan persepsi kedekatan antarmanusia, tetapi juga memperlebar jarak antara manusia dan alam. Setiap individu bisa menyaksikan keindahan laut, gunung, dan hutan melalui layar, namun kehilangan kesempatan untuk benar-benar merasakan tanah, angin, dan aroma alam itu sendiri.
1. Alam yang Menjadi Konten
Alam kini lebih sering dijadikan objek visual daripada ruang hidup. Foto-foto pegunungan atau taman kota beredar cepat di media sosial, tetapi tidak selalu mendorong kesadaran ekologis. Fenomena ini memperlihatkan bahwa apresiasi terhadap alam bergeser menjadi konsumsi estetika digital.
2. Empati yang Semu terhadap Alam
Representasi alam dalam film dokumenter, video game, atau virtual reality menciptakan sensasi empati digital. Namun empati ini sering berhenti di tingkat visual. Dinas Lingkungan Hidup kerap menyoroti pentingnya empati ekologis yang diwujudkan melalui tindakan nyata, bukan hanya dalam bentuk konten.
Jejak Karbon Dunia Digital

Banyak yang mengira kehidupan digital berarti ramah lingkungan. Faktanya, dunia virtual menyumbang jejak karbon yang signifikan. Berdasarkan data The Shift Project, industri digital berkontribusi sekitar 4% terhadap total emisi gas rumah kaca global. Angka ini lebih besar dibandingkan industri penerbangan komersial.
Server, pusat data, dan perangkat pengguna memerlukan energi besar untuk mendukung aktivitas digital yang terus meningkat. Aktivitas seperti streaming video, bermain game daring, atau menggunakan AI menyumbang konsumsi energi yang masif.
1. Greenwashing Teknologi
Banyak perusahaan teknologi mengklaim diri sebagai pelopor ramah lingkungan. Namun, di balik citra tersebut, sebagian besar pusat data masih bergantung pada energi fosil. Laporan Greenpeace tahun 2024 menyebutkan hanya sekitar 30% dari pusat data global yang benar-benar menggunakan energi terbarukan.
Fenomena ini dikenal sebagai greenwashing teknologi, yaitu strategi pemasaran yang menonjolkan kesan hijau tanpa perubahan substansial. Dinas Lingkungan Hidup menegaskan bahwa transformasi energi harus mencakup seluruh sektor, termasuk dunia digital.
2. Energi Tersembunyi dari Klik dan Stream
Setiap klik, pencarian, dan unggahan membutuhkan daya komputasi. Netflix, YouTube, dan platform streaming lainnya menyumbang emisi signifikan akibat penggunaan server global. Aktivitas harian sederhana seperti menonton video berdurasi 1 jam setara dengan emisi karbon dari perjalanan mobil sejauh beberapa kilometer.
Krisis Ekologis di Tengah Filter dan Algoritma
Era digital membawa paradoks baru: informasi tentang krisis iklim melimpah, namun kesadaran ekologis justru stagnan. Algoritma media sosial memprioritaskan konten hiburan, bukan isu lingkungan. Akibatnya, isu penting seperti deforestasi atau pencemaran laut sering kalah dari tren hiburan viral.
Fenomena ini menciptakan jarak antara pengetahuan dan tindakan. Seseorang bisa tahu banyak tentang perubahan iklim, namun tidak terdorong untuk mengubah perilakunya. Dinas Lingkungan Hidup berperan untuk mengubah pola ini melalui edukasi publik dan kampanye lingkungan yang adaptif terhadap budaya digital.
1. Doomscrolling dan Desensitisasi
Kebiasaan doomscrolling — membaca berita buruk tanpa henti — membuat isu lingkungan terasa biasa. Ketika banjir, kebakaran hutan, dan polusi udara terus muncul di layar, otak manusia menjadi kebal terhadap urgensi. Tanpa pengelolaan informasi yang baik, rasa peduli bisa berubah menjadi rasa lelah.
2. Krisis Ekologis Sebagai Tren Visual
Di media sosial, isu lingkungan sering tampil dalam bentuk kampanye visual singkat. Namun tanpa dorongan aksi nyata, tren ini hanya memperkuat siklus konsumsi konten. Dinas Lingkungan Hidup terus berupaya menghadirkan kampanye digital yang memicu keterlibatan riil masyarakat.
Mengembalikan Kesadaran Ekologis di Era Digital
Teknologi tidak harus menjadi musuh bagi bumi. Dengan pendekatan yang tepat, dunia digital justru dapat menjadi sarana untuk membangun kesadaran ekologis yang lebih luas.
1. Digital Minimalism
Prinsip ini menekankan pengendalian konsumsi digital. Mengurangi waktu layar dan memilih aktivitas bermakna dapat membantu mengembalikan fokus pada alam. Contohnya, program screen-free Sunday mendorong masyarakat untuk beraktivitas di luar ruangan.
2. Eco-Awareness Campaign
Kampanye lingkungan berbasis digital bisa menjadi jembatan antara edukasi dan aksi. Dengan memanfaatkan media sosial, pesan lingkungan dapat menjangkau audiens lebih luas. Dinas Lingkungan Hidup memanfaatkan strategi ini melalui kampanye daring seperti Gerakan Peduli Sungai dan Hari Tanpa Sampah Plastik.
3. Green Content Creation
Kreator konten memiliki kekuatan besar dalam membentuk narasi ekologis. Konten yang edukatif dan inspiratif tentang gaya hidup berkelanjutan dapat mengubah pola pikir audiens. Dinas Lingkungan Hidup mengajak para kreator digital untuk berkolaborasi dalam menciptakan konten yang mendorong perubahan perilaku (sumber: https://dlhsleman.id/).
Menemukan Kembali Keterhubungan Nyata
Teknologi hanyalah alat. Esensi hubungan manusia dengan alam tetap bergantung pada kesadaran individu untuk merawat lingkungan tempat hidupnya. Dunia virtual memang memukau, namun bumi nyata adalah sumber kehidupan yang tak tergantikan.
Filsuf David Abram pernah menulis bahwa manusia tidak bisa mencintai bumi dari jarak jauh. Hubungan ekologis sejati lahir dari pengalaman langsung — merasakan udara, mendengar burung, menyentuh tanah. Dalam konteks ini, kolaborasi antara masyarakat digital, komunitas lokal, dan Dinas Lingkungan Hidup menjadi fondasi penting untuk mengembalikan keseimbangan antara teknologi dan ekologi.