Pro Kontra MBG: Apakah Pengalihan Anggaran dari Sektor Lain Benar-benar Mendesak?

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi salah satu kebijakan paling ambisius pemerintah pada 2025. Program ini ditujukan untuk menurunkan angka stunting nasional yang hingga akhir 2024 masih berada di kisaran 21,5%, jauh dari target WHO sebesar 14%. Melalui MBG, anak-anak sekolah di seluruh Indonesia diharapkan mendapatkan asupan gizi harian yang seimbang dan higienis. Namun, di balik semangat positifnya, muncul perdebatan besar tentang sumber pendanaan program ini. Isu utama yang berkembang adalah potensi pengalihan anggaran dari sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan. Apakah langkah ini benar-benar mendesak, atau justru dapat mengorbankan sektor yang sama vitalnya bagi pembangunan manusia Indonesia?

Anak sekolah menerima makanan bergizi gratis di kantin sebagai simbol program MBG.
Anak sekolah menerima makanan bergizi gratis di kantin sebagai simbol program MBG.

Dikutip dari laman Persatuan Ahli Gizi Lubuklinggau, MBG merupakan program nasional yang berfokus pada pemberian makanan bergizi kepada pelajar setiap hari sekolah. Pemerintah berencana menyalurkan program ini secara bertahap mulai 2025, dengan target awal jutaan siswa di seluruh Indonesia. Pendanaan MBG bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan berpotensi mencapai ratusan triliun rupiah bila dijalankan penuh dalam beberapa tahun mendatang.

Sebagian ekonom menilai, untuk mendanai MBG, pemerintah mungkin harus melakukan refocusing anggaran dari pos lain. Di sinilah muncul kontroversi. Pengalihan dana dari sektor pendidikan, infrastruktur, atau kesehatan dianggap bisa menimbulkan dampak jangka panjang yang tidak kecil. Namun di sisi lain, pendukung MBG melihat langkah ini sebagai investasi masa depan yang sangat diperlukan untuk memutus siklus kemiskinan dan gizi buruk.

Argumen Pro: Mengapa Pengalihan Anggaran Dianggap Mendesak

1. Krisis Gizi dan Stunting Masih Serius

Krisis gizi di Indonesia belum sepenuhnya teratasi. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, stunting berdampak pada lebih dari 4 juta anak. Kondisi ini tidak hanya mempengaruhi pertumbuhan fisik, tetapi juga perkembangan otak dan kemampuan belajar. Dengan intervensi langsung berupa makanan bergizi gratis, pemerintah berupaya menjamin anak-anak mendapatkan gizi yang layak setiap hari. Langkah ini dinilai lebih cepat menghasilkan dampak nyata dibanding edukasi gizi yang membutuhkan waktu lebih panjang.

2. Efek Ekonomi Daerah

Program MBG berpotensi menciptakan efek berganda terhadap perekonomian lokal. Pemerintah mendorong agar bahan makanan diperoleh dari petani, peternak, dan nelayan di sekitar sekolah. Dengan cara ini, dana yang digunakan tidak hanya meningkatkan kualitas gizi anak, tetapi juga menghidupkan ekonomi di daerah. Sektor UMKM kuliner, koperasi sekolah, dan dapur komunitas dapat ikut tumbuh berkat peningkatan permintaan bahan pangan lokal.

3. Penyerapan Anggaran dan Dampak Sosial

Hasil uji coba MBG di beberapa daerah menunjukkan antusiasme tinggi. Tingkat kehadiran siswa meningkat, dan masyarakat menilai program ini membantu meringankan beban ekonomi keluarga. Pemerintah mengklaim sistem pengawasan digital dapat mencegah kebocoran dan memastikan transparansi penyaluran dana. Data realisasi awal menunjukkan tingkat penyerapan anggaran yang efisien, menandakan kesiapan birokrasi dalam menjalankan program berskala besar.

4. Fleksibilitas Fiskal yang Masih Aman

Kementerian Keuangan mencatat bahwa defisit APBN 2025 masih di bawah ambang batas 3%. Kondisi ini memberi ruang bagi pemerintah untuk mengalokasikan ulang anggaran tanpa mengganggu stabilitas fiskal nasional. Dengan perencanaan yang matang, refocusing bisa dilakukan tanpa memangkas program vital lain. Pendukung MBG berargumen bahwa dalam konteks darurat gizi, fleksibilitas semacam ini justru menunjukkan ketegasan negara dalam menyehatkan generasi muda.

Argumen Kontra: Risiko dan Biaya Kesempatan

1. Tekanan terhadap Sektor Strategis

Program MBG berpotensi menelan biaya sangat besar. Jika sumber pendanaan berasal dari pengalihan anggaran sektor pendidikan atau kesehatan, maka konsekuensi jangka panjangnya perlu diperhitungkan. Pengurangan anggaran pendidikan bisa memperlambat digitalisasi sekolah atau peningkatan kualitas guru. Di sisi kesehatan, bisa menghambat program pelayanan dasar yang sedang diperkuat pasca-pandemi.

2. Potensi Masalah Tata Kelola

Indonesia Corruption Watch (ICW) telah memperingatkan potensi penyalahgunaan dana dalam program bantuan massal seperti MBG. Risiko penggelembungan harga bahan makanan, kolusi vendor, dan lemahnya pengawasan di tingkat daerah bisa menurunkan efektivitas program. Jika pengawasan tidak transparan dan berbasis data publik, niat baik pemerintah dapat kehilangan kepercayaan masyarakat.

3. Dampak terhadap Dunia Pendidikan

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyoroti kemungkinan MBG menggunakan sebagian dana dari anggaran pendidikan, termasuk tunjangan profesi guru. Jika benar terjadi, hal ini dapat menurunkan motivasi tenaga pendidik dan berpengaruh pada kualitas belajar mengajar. Pendidikan dan gizi seharusnya berjalan beriringan, bukan saling mengorbankan.

4. Kualitas Pelaksanaan di Lapangan

Menurut PAGI Lubuklinggau, Implementasi MBG di daerah terpencil menghadapi tantangan logistik yang besar. Ketersediaan dapur higienis, rantai pasok bahan segar, dan tenaga pengawas masih terbatas. Jika tidak dikelola dengan baik, ada risiko makanan tidak memenuhi standar gizi atau distribusi tidak tepat sasaran. Pemerintah perlu memastikan adanya mekanisme evaluasi rutin dan partisipasi masyarakat dalam pemantauan kualitas.

Apa yang Dipertanyakan dari Pengalihan Anggaran?

Isu pengalihan anggaran bukan hanya soal keuangan, melainkan juga soal prioritas nasional. Pemerintah dihadapkan pada dilema: antara mempercepat penanganan stunting dan mempertahankan keberlanjutan program pembangunan lain.

Prioritas Pembangunan

Apakah pengalihan dana untuk gizi jangka pendek lebih penting dibanding investasi pendidikan dan infrastruktur jangka panjang? Sebagian pengamat menilai MBG memang mendesak, tetapi harus dijalankan tanpa mengorbankan pilar pembangunan manusia lainnya.

Biaya Peluang yang Besar

Setiap rupiah yang dialihkan dari satu sektor ke sektor lain menimbulkan biaya kesempatan. Misalnya, jika dana Rp10 triliun dialihkan dari pendidikan, maka pembangunan laboratorium sekolah atau pelatihan tenaga pengajar bisa tertunda. Hal serupa juga terjadi bila anggaran kesehatan dialihkan, yang bisa menghambat pemerataan layanan kesehatan primer.

Transparansi dan Akuntabilitas

Masyarakat perlu tahu dari mana dana MBG berasal dan sektor apa yang mengalami pengurangan. Mekanisme refocusing harus diumumkan secara terbuka untuk mencegah kesalahpahaman publik. Transparansi menjadi kunci agar kebijakan ini tidak dipolitisasi atau disalahgunakan menjelang tahun politik.

Jalan Tengah yang Realistis

Implementasi Bertahap

Solusi paling rasional adalah melaksanakan MBG secara bertahap. Pemerintah bisa memprioritaskan daerah dengan angka stunting tertinggi, sambil mengevaluasi efektivitas setiap tahap. Dengan demikian, kebijakan dapat disesuaikan berdasarkan hasil nyata di lapangan, bukan sekadar asumsi politik.

Pengawasan Terpadu

Pengawasan lintas lembaga — termasuk BPK, KPK, dan masyarakat sipil — menjadi kunci keberhasilan program. Penggunaan teknologi seperti sistem audit digital real-time dan dashboard publik akan memperkuat kepercayaan masyarakat. Setiap rupiah yang dikeluarkan harus dapat dilacak dan diverifikasi secara terbuka.

Pembiayaan Campuran

MBG tidak harus bergantung sepenuhnya pada APBN. Pemerintah bisa menggabungkan sumber dana dari transfer daerah, CSR perusahaan, dan efisiensi belanja non-prioritas. Dengan demikian, tekanan terhadap APBN dapat berkurang tanpa menunda program strategis lainnya.

Penguatan Komunitas Lokal

Desentralisasi pelaksanaan MBG menjadi faktor penting. Dengan memberdayakan koperasi sekolah, dapur komunitas, dan UMKM lokal, pemerintah dapat menjaga mutu makanan sekaligus menggerakkan ekonomi masyarakat. Pendekatan berbasis daerah juga memungkinkan pengawasan lebih dekat dan tanggung jawab sosial yang lebih tinggi.

Kesimpulan

Perdebatan tentang MBG menunjukkan adanya tarik ulur antara urgensi sosial dan kedisiplinan fiskal. Pengalihan anggaran bisa dibenarkan jika memenuhi tiga syarat utama: urgensi berbasis data, risiko fiskal yang terukur, dan tata kelola yang transparan. Tanpa tiga hal ini, kebijakan sebesar MBG berisiko menimbulkan ketimpangan baru dan menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Pada akhirnya, MBG adalah ujian bagi komitmen negara dalam membangun generasi sehat tanpa mengorbankan stabilitas kebijakan publik lainnya. Jika dikelola dengan baik, program ini bukan sekadar agenda politik, tetapi warisan pembangunan manusia yang berkelanjutan.

Tinggalkan komentar